Powered By Blogger

Sabtu, 14 Desember 2013

Tarian Hujan

Angin di awal Desember adalah simfoni suara musik Beethoven yang mengalunkan nada Moonlight Sonata. Di suatu tempat yang tinggi di atas sana, hujan turun membasahi rimbunan pohon hijau yang bergerak tertiup angin, berderik, menepuk dan bersenandung seperti ratusan alat musik orkestra.


Dan hujan yang terbentuk di atas samudera nusantara yang biru, menari-nari turun menembus jarak yang membentang dan meresap ke dalam hati-hati manusia yang rapuh.

Aku menjemput fajar dengan siluet oranye dan garis-garis tegas awan yang membelah langit yang nampak muram. Lagi, hari ini mungkin takkan kutemukan hangatnya udara dimusim panas, namun pelangi yang muncul setelah kilasan hujan mampu mengobati rinduku pada sang surya. Dalam gemuruh hujan yang lebat, dalam sedu sedan seluruh manusia, pada mukanya musim hujan, aku menafaskan abu-abu perak dari mimpi-mimpiku. Hujan, bisakah aku menjalani hariku ini dengan baik? setelah tiga hari kemunculanmu, setiap pagi aku mengintip, dan berbisik kecil pada hati, apakah kau masih melihat surya bergumul dengan awan hari ini ? sayangnya, jawaban kecut kembali kudengar. Kami kembali dipisah oleh impian lembut bercampur manis - hujan-.


 Aku yang hendak melangkah kembali mengurungkan niatku. Bercerita kecil kepada sepi, mungkin hari ini aku akan tetap di sini, tidak kemanapun dan tidak mencari siapapun ; tidak kawan, tidak lawan, tidak diri sendiri. Wahai teman sepiku yang akrab, kita berjalan bagai suatu pasangan yang tersesat dalam buaian hujan hingga kilat dan guntur pun saling menyahut mengakrabkan kegila-gilaan. Dengan kondisi yang menyedihkan, aku berjalan gontai ke kamar hingga tergeletak manja di atas ubin licin nan dingin yang membiaskan hujan yang terus menerus menari di mata dan pikiranku. Pagi panjang itu berakhir dengan satu siluet senja yang perlahan bangkit di antara pepohonan sementara di udara, bau tanah basah masih menyerbak dan berkembang ; satu- satunya sisi yang kusukai dari hujan, adalah tatkala ia membasahi bumi hingga menyeruakkan bau tanah basah membawa kenangan dan ketenangan pribadi di jiwa.


 Hujan....

Ini baru tiga hari berlalu sejak kau menari- nari dalam hariku, tetapi aku bahkan sudah jengah dengan keberadaanmu. Tak seperti orang lain yang sangat mengagumi dengan alasan yang tak logis bagi pikiranku ; kau membawa angin yang akan menerbangkan rasa sakit dan menghapus air mata yang mengalir bersama guyuranmu yang nampak murni dan tulus. Tapi aku membencimu ! Aku membenci hujan ! Aku membenci kelabu yang seolah- olah menyampaikan pesan tersirat kedatanganmu. Hari tenteram, kelabu datang , udara panas-panas-dingin dan kaupun datang. Hujan turun menari- nari pelan dan bisu, dan selagi aku bisa meneguk tangis dan mengeluh dengan suara yang pilu, hujan dan angin yang bertiup di pepohonan, melulung dan mengeluh demikian aneh dengan bunyi hampa dan perih.

Hujan, berhentilah menari- nari di hariku, Aku Membencimu !