Powered By Blogger

Jumat, 08 Agustus 2014

Sejarah dan perkembangan Akuntansi Syari'ah

Kebanyakan para ahli menyimpulkan bahwa perkembangan akuntansi karena semakin tumbuhnya serikat dagang. Pada hakekatnya tumbuhnya serikat dagang itu sebagai salah satu fenomena luasnya perdagangan tidaklah menjadi asas dalam perkembangan akuntansi. Sebab tumbuhnya serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan dengan tumbuhnya negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, berbagai negara seperti negeri Babilonia, Mesir dan Cina telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk pencatatan transaksi keuangan, yang digunakan untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan Negara.

Dalam sejarah tercatat perkembangan akuntansi yang sangat pesat, dimulai dari ditulisnya buku oleh Lucas Pacioli yang  menyinggung tentang pembukuan/double entry. Namun, dalam sejarah bangsa-bangsa di  jazirah arab telah terlebih dahulu berkembang pencatatan keuangan yang menjadikn Al-Quran sebagai landasannya. Jauh berabad-abad sebelum akuntansi barat berkembang dan diadaptasi oleh banyak  Negara. Akuntansi dalam Islam bukanlah merupakan ilmu yang baru hal ini dapat di lihat dalam peradaban Islam yang pertama sudah memiliki ”Baitul Mal ” yangmerupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai ”Bendara Negara” serta menjamin kesejahteraan sosial. Sejak itu masyarakat muslim telah memiliki jenis akuntansi yang disebut ”Kitabat Al-Amwal” (pencatatan uang) tulisan ini telah muncul sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia pada tahun 1494.    Ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Lucas Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di Madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba’ dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan, monopoli dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal  (pengawas keuangan).
Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surat Al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomi. Dalam hal ini, para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah Khulafaur-Rasyidin.
Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk mengetahui utang-utang dan piutang serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untuk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.
Dengan melihat sejarah peradaban Islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.
Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin Islam untuk mensosialisasikan hukum Islam, serta dengan dijajahnya kebanyakan negara Islam oleh negara-negara Eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasar di semua segi kehidupan umat Islam, termasuk dibidang muamalah keuangan. Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat.
Sementara di Indonesia sendiri, akuntansi syari’ah mulai banyak diperbincangkan pada awal tahun 90-an, tepatnya setelah bank syari’ah pertama berdiri yakni Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh majelis ulama indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari ikatan cendekiawan muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim (Asad Alhaq, 2010:7).
 
Menurut Muhammad (2002:1), perkembangan akuntansi syari’ah di Indonesia dilatarbelakangi oleh ketidak nyamanan umat islam terhadap penyakit dualisme ekonomi-syariah yang sudah cukup lama membelenggunya. Menurutnya dualisme ini muncul sebagai akibat ketidakmampuan umat Islam menggabungkan dua disiplin ilmu, yaitu ekonomi dan syari’ah.
Setelah didirikannya bank syariah, terdapat keganjilan ketika bank membuat laporan keuangan. Dimana pada waktu itu proses akuntansi belumlah mengacu pada akuntansi yang dilandasi syari’ah Islam. Maka selanjutnya munculah kebutuhan akan akuntansi syariah Islam. Dan dalam proses kemunculannya tersebut juga mengalami proses panjang.
Berdirinya bank syariah tentunya membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan, antara lain, yaitu peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing, kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk syari’ah dan Iain-Iain. Dengan demikian banyak peneliti yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan teori dan praktik akuntansi syari’ah adalah karena berdirinya bank syari’ah. Pendirian bank syariah adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam.
Dengan demikian, berdasarkan data dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah. Jadi secara historis dari tahun 1992-2002 perbankan syari’ah belum memiliki PSAK khusus, sejak tahun 2002 barulah muncul ide pemikiran dan keberadaan akuntansi syari’ah, baik secara pengetahuan umum maupun secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia.
PSAK 59 sebagai produk DSAK – IAI  merupakan awal dari pengakuan dan eksistensi Akuntansi Syariah di Indonesia. PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku dalam jangka waktu  5 tahun. Setelah itu lahirlah PSAK 101-106 yang disahkan tanggal 27 Juni 2007 dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2008 atau pembukuan tahun yang berakhir tahun 2008

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Sekilas Tentang Akuntansi Syari’ah
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
 
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Persamaan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Konvensional
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
a.    Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
b.   Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
c.    Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
d.   Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
e.    Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
f.    Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
g.   Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
 
Perbedaan Akuntansi Syari’ah dengan Akuntansi Konvensional
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.    Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.    Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3.    Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagai sumber harga atau nilai;
4.    Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.    Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.    Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Praktek Akuntansi Pemerintahan Islam
→    Pada zaman Rasulullah SAW cikal bakal akuntansi dimulai dari fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuannya dan penunjukkan orang-orang yang kompeten (Zaid, 2000);
→    Pemerintahan Rasulullah SAW memiliki 42 pejabat yang digaji, terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri(Hawary, 1988);
→    Perkembangan pemerintahan Islam hingga Timur Tengah, Afrika, dan Asia di zaman Umar bin Khatab, telah meningkatkan penerimaan dan pengeluaran negara;
→    Para sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaaan dan pengeluaran negara;
→    Umar bin Khatab mendirikan lembaga yang bernama Diwan (dawwana = tulisan);
→    Reliabilitas laporan keuangan pemerintahan dikembangkan oleh Umar bin Abdul Aziz (681-720M) dengan kewajiban mengeluarkan bukti penerimaan uang (Imam, 1951);
→    Al Waleed bin Abdul Malik (705-715M) mengenalkan catatan dan register yang terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya (Lasheen, 1973);
→    Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiah;

→    Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi seperti Akuntansi peternakan, Akuntansi pertanian, Akuntansi perbendaharaan, Akuntansi konstruksi, Akuntansi mata uang, dan pemeriksaan buku / auditing (Al-Kalkashandy, 1913);

→    Sistem pembukuan menggunakan model buku besar, meliputi :
1.    Jaridah Al-Kharaj (menyerupai receivabale subsidiary ledger), menunjukkan utang individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta utang hewan ternak dan cicilan. Utang individu dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran di kolom yang lain (Lasheen, 1973);
2.    Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran);
3.    Jaridah Al Mal (Jurnal Dana), mencatat penerimaan dan pengeluaran dana zakat;
4.    Jaridah Al Musadareen, mencatat penerimaan denda / sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk korupsi.

→    Laporan Akuntansi yang berupa :
       1.    Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan (Bin   Jafar, 1981);
       2.    Al Khitmah Al Jame’ah, laporan keuangan komprehensif gabungan antaraincome statement dan balance sheet (pendapatan, pengeluaran, surplus / defisit, belanja untuk aset lancar maupun aset tetap), dilaporkan pada akhir tahun;

→    Dalam perhitungan dan penerimaan zakat. Utang zakat diklasifikasikan pada laporan keuangan dalam 3(tiga) kategori yaitu collectable debts, doubtful debts, dan uncollectable debts (Al-Khawarizmi, 1984).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar